tanamduit menawarkan investasi yang aman dengan potensi return atau imbal hasil lebih tinggi dari bunga deposito. Sebelum berinvestasi, kenali kondisi market dan strategi investasinya melalui berita market update berikut.
Ringkasan Market Update:
-
- IHSG Melemah 30 Juli 2025 karena Tekanan Saham Bank dan Konglomerasi
- The Fed Tahan Suku Bunga: Yield Obligasi Naik, Dolar AS Menguat, Harga Saham AS Relatif Stabil, dan Harga Emas Turun (Namun Menguat Kembali)
- Harga Emas Bangkit Akibat Tarif Dagang Baru dan Sikap Hati-Hati Fed
- Potensi Dampak Keputusan Fed: Ketidakpastian Global dan Respons Lokal hingga Akhir 2025.
Berikut adalah data-data indeks saham, nilai tukar mata uang, harga komoditas, dan yield obligasi per tanggal 30 Juli 2025.
IHSG Melemah 30 Juli 2025 karena Tekanan Saham Bank dan Konglomerasi
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun signifikan sebesar 0,89% ke level 7.540,62 pada Rabu (30/7/2025). Performa IHSG berbalik dari awal perdagangan, yang sempat naik 0,32%.
Penurunan ini didorong oleh melemahnya saham-saham besar, terutama di sektor perbankan seperti BBRI dan BMRI, serta asuransi SMMA, yang masing-masing berkontribusi besar terhadap pelemahan indeks.
Selain itu, saham emiten konglomerasi seperti CDIA, BREN, TPIA, PTRO, AMRT, dan BYAN juga turut menekan IHSG. Beberapa di antaranya anjlok hingga batas auto rejection bawah.
Faktor eksternal juga memengaruhi, dengan pasar Asia-Pasifik bergerak bervariasi jelang pengumuman suku bunga The Fed, yang diperkirakan tetap di 4,25%-4,5%.
Ketegangan perdagangan global, terutama ancaman tarif baru AS, membuat investor berhati-hati. Hal ini memicu tekanan pada bursa regional, termasuk IHSG.
Meski pertumbuhan investasi domestik dan revisi positif IMF memberikan harapan, sentimen global dan kinerja saham besar tetap menjadi pemberat utama IHSG Rabu kemarin. (CNBC Indonesia, Bloomberg Technoz)
The Fed Tahan Suku Bunga: Yield Obligasi Naik, Dolar AS Menguat, Harga Saham AS Relatif Stabil dan Harga Emas Turun (Namun Menguat Kembali)
Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed) mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25%-4,50% pada pertemuan Juli 2025, sesuai prediksi. Namun, dua anggota dewan, Michelle Bowman dan Christopher Waller, menentang dan mendukung pemotongan suku bunga, kejadian langka sejak 1993.
Ketua Jerome Powell menyatakan belum ada keputusan untuk September karena ketidakpastian ekonomi. Data menunjukkan perlambatan aktivitas di paruh pertama tahun, berbeda dari pertumbuhan kuat sebelumnya.
Keputusan ini mendorong kenaikan yield obligasi AS 10-tahun dari 4,32% ke 4,37%, karena investor bereaksi terhadap kebijakan The Fed, data PDB, dan ketegangan perdagangan.
Ekonomi AS tumbuh 3% pada kuartal kedua 2025, melebihi prediksi 2,4%, meskipun dipengaruhi penurunan impor akibat perang dagang.
Tarif baru dari Presiden Trump, seperti 25% untuk India dan 50% untuk Brasil, membuat data perdagangan fluktuatif. Departemen Keuangan mempertahankan penerbitan obligasi, tapi meningkatkan pembelian kembali obligasi jangka panjang, membatasi pasokan surat utang lama.
Laporan ADP menunjukkan penambahan 104.000 lapangan kerja di Juli, lebih tinggi dari ekspektasi, sementara kenaikan yield obligasi mencerminkan ekspektasi kebijakan moneter yang lebih ketat.
Indeks dolar AS menguat ke 99,8, naik lima sesi berturut-turut setelah keputusan The Fed, terutama terhadap euro dan franc Swiss. Ketidakpastian dari tarif Trump dan revisi prospek ekonomi The Fed memicu spekulasi penurunan suku bunga di September, meskipun dua anggota dewan mendukung pemotongan.
Penguatan dolar dan kenaikan yield obligasi menunjukkan respons pasar terhadap ketidakpastian, yang juga berdampak pada harga emas yang mundur karena opportunity cost lebih tinggi untuk aset non-yield seperti emas.
Pasar saham AS melemah, dengan S&P 500 turun 0,1% dan Dow Jones anjlok 171 poin, meskipun Nasdaq naik 0,2%. Powell menyebut The Fed memantau dampak inflasi dari tarif Trump, menurunkan ekspektasi pelonggaran suku bunga cepat.
Harga emas turun setelah keputusan ini, karena suku bunga tetap tinggi membuat emas kurang menarik sebagai safe haven dibandingkan aset berimbal hasil. Namun, ketegangan perdagangan bisa mendukung rebound jangka panjang. (Trading Economics)
Harga Emas Bangkit Akibat Tarif Dagang Baru dan Sikap Hati-Hati Fed
Harga emas naik di atas 3.290 dolar AS per ons pada Kamis, pulih dari penurunan lebih dari 1% ke level terendah setelah the Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga AS pada Rabu, 30 Juli kemarin (Kamis, dini hari 31 Juli 2025 WIB).
Kenaikan ini dipicu oleh respons pasar terhadap pengumuman Presiden Trump mengenai tarif dagang baru, seperti penghapusan pengecualian impor barang murah, revisi bea masuk pada barang tembaga dan Brasil, tarif 15% untuk impor Korea Selatan, serta 25% untuk barang India, meskipun negosiasi dengan India masih berlangsung.
Selain itu, Bank Sentral AS (Fed) mempertahankan suku bunga sesuai prediksi, dengan Ketua Jerome Powell menyatakan terlalu dini untuk memangkas suku bunga dan memberikan sedikit petunjuk waktu ke depan.
Pasar memperkirakan pemotongan suku bunga 35 basis poin hingga akhir tahun, sambil mencerna data ekonomi AS yang lebih kuat dari perkiraan, seperti pertumbuhan PDB dan penambahan lapangan kerja swasta.
Fokus investor kini beralih ke data inflasi PCE dan klaim pengangguran pada Kamis, serta laporan ketenagakerjaan Juli pada Jumat, yang bisa memengaruhi pergerakan harga emas selanjutnya. (Trading Economics)
Potensi Dampak Keputusan Fed: Ketidakpastian Global dan Respons Lokal hingga Akhir 2025
Keputusan Federal Reserve (Fed) untuk mempertahankan suku bunga pada Juli 2025 telah menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan dunia, dengan dolar AS semakin menguat dan imbal hasil obligasi naik, memicu gejolak pada saham dan obligasi di berbagai negara.
Pasar saham Amerika Serikat menunjukkan kenaikan ringan setelah keputusan tersebut. Sementara itu, pasar negara berkembang menghadapi tekanan dari perang dagang yang digerakkan oleh Trump, yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi hingga akhir tahun.
Meskipun demikian, bank sentral di seluruh dunia mungkin terus memangkas suku bunga untuk menjaga aliran dana. Namun, inflasi yang masih tinggi bisa menekan aset berisiko; tetap saja, ada peluang pemulihan jika Fed mulai melonggarkan kebijakan pada September.
Di Indonesia, nilai tukar rupiah berpotensi melemah hingga akhir 2025 akibat penguatan dolar dan risiko perdagangan internasional, dengan perkiraan bergerak di kisaran Rp16.000-16.500 per dolar AS.
Bank Indonesia (BI) yang telah memangkas BI Rate menjadi 5,25% pada Juli 2025 membantu menstabilkan situasi, meskipun fluktuasi dari tarif perdagangan AS bisa menambah beban.
Namun, jika Fed memberikan sinyal pemotongan suku bunga di kemudian hari dan kesepakatan perdagangan antara AS-Indonesia terus berlanjut, rupiah bisa sedikit menguat, didukung oleh inflasi yang terkendali serta pertumbuhan ekonomi antara 4,7-5,5%.
Imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) Indonesia cenderung menurun setelah pemotongan BI Rate menjadi 5,25%. Hal ini terlihat dari yield obligasi 10-tahun di sekitar 6,57%, disertai aliran masuk modal asing mencapai 877,8 juta dolar AS pada Juli 2025.
Walaupun keputusan Fed yang tidak memangkas suku bunga menimbulkan risiko keluarnya modal, kebijakan BI yang mendukung pertumbuhan mampu mengimbangi hal tersebut, sehingga obligasi menjadi lebih menarik dan meningkatkan likuiditas pasar.
Jika ketegangan perdagangan semakin parah, imbal hasil mungkin naik sedikit, tetapi prospek secara keseluruhan tetap positif dengan inflasi berada di target 1,5-3,5%.
Harga saham di Bursa Efek Indonesia (BEI), termasuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), masih memiliki potensi naik dari level sekarang di 7.500an ke level 7.900an hingga akhir 2025 meskipun Fed mempertahankan suku bunga, didorong oleh pemotongan BI Rate yang mendorong investasi dalam negeri serta pertumbuhan ekonomi yang kuat.
Namun, risiko perang dagang bisa menyebabkan fluktuasi, meskipun target ini tetap realistis berkat faktor pendukung seperti aliran masuk modal dan kestabilan rupiah.
Rekomendasi Investasi Pasca Keputusan The Fed Menahan Suku Bunga USD 30 Juli 2025
Reksa Dana
- Untuk jangka pendek (hingga 1 tahun), utamakan reksa dana pasar uang atau pendapatan tetap dengan risiko rendah, mengingat ketidakpastian global pasca-keputusan Fed yang berpotensi memicu gejolak, sementara penurunan BI Rate menjadi 5,25% dapat menahan volatilitas dan mendukung likuiditas domestik.
- Untuk jangka menengah (1-5 tahun), pilih reksa dana campuran atau saham syariah yang menawarkan imbal hasil hingga 8% per tahun, sejalan dengan proyeksi kenaikan IHSG hingga 7.500-8.000 pada akhir 2025 berkat pertum-buhan ekonomi Indonesia sebesar 4,7-5,5%.
- Untuk jangka panjang (lebih dari 5 tahun), reksa dana saham menjadi pilihan utama untuk pertumbuhan modal, didukung oleh pemulihan sektor konsumsi dan ekspor, meskipun diversifikasi diperlukan untuk mengantisipasi fluktuasi akibat perang dagang.
Emas
- Untuk jangka pendek, disarankan membeli saat harga mengalami penurunan seperti saat ini (sekitar USD 3.300 per ons pasca-keputusan Fed), sebagai pelindung nilai terhadap potensi pelemahan rupiah hingga Rp16.000-16.500. Namun, segera jual jika Fed memberikan sinyal pemotongan suku bunga guna menghindari koreksi lebih lanjut.
- Di jangka menengah, akumulasi emas digital atau fisik secara bertahap, karena prediksi kenaikan hingga USD3.634 pada akhir 2025 jika inflasi terkendali dan Fed melonggarkan kebijakan, cocok sebagai aset aman di tengah ketegangan perdagangan.
- Untuk jangka panjang, emas tetap direkomendasikan sebagai bagian diversifikasi portofolio, tahan terhadap inflasi, dan berpotensi mengalami kenaikan berkelanjutan hingga 2030, terutama jika gejolak global berlanjut, dengan strategi pembelian rutin untuk merata-ratakan biaya.
Surat Berharga Negara (SBN)
- Untuk jangka pendek dan menengah, dapat mempertimbangkan untuk berinvestasi di SBN seri SBR014 yang sedang dalam masa penawaran sampai dengan 7 Agustus 2025 yang memberikan kupon 6,25% untuk tenor 2 tahun dan 6,35% untuk tenor 4 tahun.
- Untuk jangka panjang, dapat mempertimbangkan reksa dana pendapatan tetap yang portofolionya didominasi oleh SBN dan atau Surat Utang Negara dengan tenor lebih dari 5 tahun.
Bagi investor dengan profil agresif, saat ini dapat dipertimbangkan untuk membeli reksa dana saham pada jangka pendek (hingga 1 tahun), mengingat IHSG berada di level 7.550 dengan momentum kenaikan 3,17% pada pekan lalu, dan proyeksi mencapai 8.000 akhir 2025, didorong oleh BI Rate rendah serta pemulihan sektor domestik.
Namun, pertimbangkan risiko volatilitas tinggi akibat ketidakpastian Fed dan perang dagang. Terapkan strategi dollar cost averaging serta pilih reksa dana saham yang memiliki kinerja panjang dan konsisten di masa lalu.
Investor sangat disarankan untuk memahami profil risiko masing-masing dan memahami dengan baik produk investasi yang akan dibeli dengan membaca prospektus dan informasi yang memadai.
Yuk, investasi sekarang di tanamduit!
DISCLAIMER:
Tulisan ini dibuat dan diterbitkan oleh PT Star Mercato Capitale (tanamduit), anak perusahaan PT Mercato Digital Asia, yang telah berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan nomor KEP-13/PM.21/2017 serta menjadi mitra distribusi SBN dari DJPPR – Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan nomor S-363/pr/2018 dan dari SBSN dengan nomor PENG-2/PR.4/2018.
PT Mercato Digital Asia telah terdaftar pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) dengan nomor: 005445.01/DJAI.PSE/07/2022 dan bekerja sama dengan PT Cipta Optima Digital (emasin) untuk produk Koleksi Emas dan PT BPRS ATTAQWA (BPRS Attaqwa) dalam menyediakan produk Tabungan Emas 24 Karat produksi emas PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
Tulisan ini bersumber dari berbagai informasi tertulis dan visual yang terpercaya dan tersebar luas baik yang disediakan secara digital maupun hardcopy. Meskipun demikian, PT Star Mercato Capitale tidak dapat menjamin keakurasian dan kelengkapan data dan informasinya. Manajemen PT Star Mercato Capitale beserta karyawan dan afiliasinya menyangkal setiap dan semua tanggung jawab atas keakurasian, kelalaian, atau kerugian apapun dari penggunaan tulisan ini.