tanamduit menawarkan investasi yang aman dengan potensi return atau imbal hasil lebih tinggi dari bunga deposito. Sebelum berinvestasi, kenali kondisi market dan strategi investasinya melalui penjelasan berikut.
Ringkasan Market Update:
- IHSG Bangkit Tipis Jumat Minggu Lalu, Optimisme Perdagangan Global Jadi Penyelamat
- Pasar Obligasi Melemah di Tengah Ketidakpastian Global
- Emas Naik di Tengah Dinamika Perdagangan Global
- Inflasi AS Mereda di Tengah Penurunan Biaya Energi
- Imbal Hasil AS di Persimpangan Inflasi dan Tarif
Berikut adalah data-data indeks saham, nilai tukar mata uang, harga komoditas, dan yield obligasi per tanggal 9 hingga 13 Mei 2025.
IHSG Bangkit Tipis, Optimisme Perdagangan Global Jadi Penyelamat
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil ditutup naik tipis 0,07% ke level 6.832,8 pada Jumat (9/5/2025), meski sempat tertekan menjelang libur panjang.
Penguatan IHSG didorong oleh saham-saham sektor kesehatan, properti, dan teknologi, dengan kontribusi besar dari BBRI, DSSA, dan TLKM.
Meski transaksi sepi dengan nilai Rp9,01 triliun dan lebih banyak saham melemah (341 saham) dibandingkan yang naik (247 saham), IHSG mampu bertahan di zona hijau, melanjutkan tren positif pekan ini dengan kenaikan 0,25%.
Sentimen global menjadi pendorong utama, terutama kesepakatan perdagangan AS-Inggris yang menurunkan tarif dan membuka peluang ekspor baru, meningkatkan optimisme investor.
Pernyataan Donald Trump tentang perjanjian “komprehensif” dengan Inggris memicu harapan akan lebih banyak kesepakatan dagang, meski ketegangan India-Pakistan dan Rusia-Ukraina masih menciptakan ketidakpastian.
Bursa Asia yang bervariasi, dengan NIKKEI 225 naik 1,56%, juga mendukung pergerakan IHSG.
Meski IHSG masih terkoreksi 3,49% sepanjang tahun, penguatan hari ini menunjukkan ketahanan pasar di tengah fluktuasi. Sektor kesehatan, seperti saham Medikaloka Hermina (naik 6,77%), dan properti, seperti Repower Asia (naik 7,89%), menjadi penopang utama.
Dengan sentimen perdagangan global yang positif dan fundamental domestik yang masih rapuh, IHSG berpotensi melanjutkan kenaikan jangka pendek. Namun, investor perlu tetap waspada terhadap volatilitas akibat faktor eksternal. (CNBC Indonesia, Bloomberg Technoz)
Pasar Obligasi Melemah di Tengah Ketidakpastian Global
Harga Surat Utang Negara (SUN) melemah pada perdagangan Jumat, 9 Mei 2025. Yield SUN Benchmark 5-tahun (FR0104) naik 2 basis poin menjadi 6,54% dan yield SUN Benchmark 10-tahun (FR0103) naik 1 basis poin ke 6,84%.
Volume transaksi Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp20,3 triliun, didominasi oleh seri FR0103 dan FR0104 dengan transaksi masing-masing Rp5,5 triliun dan Rp2,7 triliun. Sementara itu, obligasi korporasi mencatatkan volume transaksi Rp2,1 triliun.
Pelemahan rupiah sebesar 0,11% ke level Rp16.520/US$ turut memengaruhi dinamika pasar, meskipun yield US Treasury dan Credit Default Swap (CDS) Indonesia relatif stabil.
Laporan Bank Indonesia menunjukkan beli neto investor asing di pasar SBN sebesar Rp6,88 triliun pada 5-8 Mei 2025, meskipun terjadi jual neto di pasar saham (Rp2,70 triliun) dan Sertifikat Rupiah Bank Indonesia (Rp4,07 triliun).
Secara keseluruhan, sepanjang 2025, investor nonresiden mencatatkan beli neto Rp30,18 triliun di SBN, namun jual neto di pasar saham dan SRBI.
Meski ketidakpastian global tetap tinggi, penurunan CDS 5-tahun Indonesia menjadi 85 basis poin pada 14 Mei, didukung oleh meredanya tensi geopolitik dan sinyal de-eskalasi perang dagang AS-Tiongkok, memberikan sentimen positif.
Pasar obligasi diperkirakan menghadapi volatilitas lebih tinggi setelah libur awal pekan, dipicu oleh kenaikan yield US Treasury (5-tahun ke 4,12% dan 10-tahun ke 4,49%) serta pelemahan rupiah menjadi Rp16.627/US$.
Meskipun penurunan CDS menandakan berkurangnya persepsi risiko, pelaku pasar diharapkan tetap waspada terhadap perkembangan eksternal dan domestik.
Potensi peningkatan volatilitas harga dan yield SBN berdenominasi rupiah menjadi perhatian utama, mendorong pelaku pasar untuk menyesuaikan strategi investasi dengan cermat. (BNI Sekuritas)
Emas Naik di Tengah Dinamika Perdagangan Global
Selasa (13/5), harga emas melonjak di atas $3.250 per ons, rebound dari penurunan tajam sebesar 2,7% pada sesi sebelumnya.
Kenaikan ini didorong oleh aksi beli investor setelah de-eskalasi perang dagang AS-Tiongkok, yang sempat meningkatkan selera risiko dan mengurangi daya tarik emas sebagai aset safe-haven.
Kesepakatan kedua negara untuk memangkas tarif impor masing-masing selama 90 hari—dengan tarif AS turun dari 145% menjadi 30% dan tarif Tiongkok dari 125% menjadi 10%—memicu optimisme pasar, meskipun investor tetap berhati-hati menanti data ekonomi AS.
Investor kini fokus pada laporan ekonomi penting AS, seperti data CPI dan penjualan ritel April, yang akan dirilis akhir pekan ini. Laporan ini diharapkan memberikan gambaran lebih jelas tentang arah kebijakan Federal Reserve.
Sementara itu, Citi memprediksi harga emas akan berkonsolidasi dalam kisaran $3.000 hingga $3.300 dalam jangka pendek, dengan target harga tiga bulan ke depan diturunkan menjadi $3.150 seiring kemajuan negosiasi tarif.
Dinamika ini mencerminkan keseimbangan antara optimisme perdagangan global dan ketidakpastian ekonomi. (Trading Economics)
Inflasi AS Mereda di Tengah Penurunan Biaya Energi
Laju inflasi tahunan AS melambat menjadi 2,3% pada April 2025, terendah sejak Februari 2021. Angka inflasi AS turun tipis dari 2,4% pada Maret, dan berada di bawah ekspektasi pasar sebesar 2,4%.
Penurunan ini didorong oleh anjloknya biaya energi sebesar 3,7%, terutama harga bensin (-11,8%) dan bahan bakar minyak (-9,6%), meskipun harga gas alam melonjak 15,7%.
Inflasi juga mereda untuk makanan (2,8%) dan transportasi (2,5%), sementara biaya tempat tinggal tetap stabil di 4%. Namun, harga mobil bekas dan kendaraan baru sedikit meningkat, masing-masing 1,5% dan 0,3%.
Secara bulanan, Indeks Harga Konsumen (CPI) naik 0,2%, membaik dari penurunan 0,1% pada Maret, tetapi masih di bawah perkiraan 0,3%.
Kenaikan biaya tempat tinggal (0,3%) menyumbang lebih dari setengah kenaikan bulanan, diikuti oleh energi (0,7%) akibat lonjakan harga gas alam dan listrik. Sementara itu, inflasi inti tahunan tetap stabil di 2,8%, sesuai harapan.
Data ini menunjukkan redanya tekanan inflasi, memberikan ruang bagi Federal Reserve untuk mempertimbangkan kebijakan moneter ke depan dengan lebih hati-hati. (Trading Economics)
Imbal Hasil AS di Persimpangan Inflasi dan Tarif
Selasa (13/5) lalu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS meningkat. Peningkatan ini didorong oleh ekspektasi bahwa tarif impor yang lebih tinggi akan mendorong kenaikan harga di masa depan, meskipun data inflasi April menunjukkan angka lebih rendah dari perkiraan.
Imbal hasil obligasi 10-tahun naik 2,2 basis poin menjadi 4,479%, sementara imbal hasil 2-tahun stabil di 4,006%.
Laporan Indeks Harga Konsumen (Consumer Price Index/ CPI) menunjukkan kenaikan bulanan 0,2% dan kenaikan tahunan 2,3%, di bawah perkiraan ekonom sebesar 0,3%.
Namun, analis memprediksi tekanan inflasi akan meningkat akibat tarif yang tetap tinggi, meskipun ada kesepakatan AS-Tiongkok untuk mencegah perang dagang.
Federal Reserve diperkirakan akan menunda pemangkasan suku bunga hingga akhir 2025, dengan kemungkinan dua kali penurunan, dimulai dari September.
Ekonom seperti Andy Schneider dari BNP Paribas menilai beberapa faktor penahan inflasi–seperti penurunan harga kendaraan bekas–bersifat sementara. Sementara itu, tarif yang lebih tinggi akan terus memengaruhi harga barang tertentu seperti furnitur dan elektronik.
Di sisi lain, fokus investor kini beralih ke pembahasan anggaran dan pemotongan pajak di Kongres, yang diperkirakan menelan biaya $3,72 triliun, menambah ketidakpastian kebijakan jangka panjang.
Meskipun CPI yang lebih rendah memberikan dorongan pada pasar saham, pasar obligasi tetap berhati-hati. Kesenjangan imbal hasil antara obligasi 2-tahun dan 10-tahun melebar ke 46,9 basis poin, mengindikasikan ekspektasi pelonggaran moneter di masa depan.
Analis seperti Subadra Rajappa dari Societe Generale menekankan bahwa pasar masih mencari kejelasan tentang arah kebijakan Federal Reserve.
Dengan meredanya kekhawatiran perang dagang, pasar obligasi AS kini berada di persimpangan antara data inflasi yang terkendali dan dampak jangka panjang dari kebijakan tarif. (Reuters)
Faktor yang Perlu Diperhatikan:
-
Investasi di reksa dana, emas, dan Surat Berharga Negara (SBN) dipengaruhi oleh indikator global seperti inflasi, suku bunga, dan ketegangan perdagangan, serta faktor nasional seperti nilai tukar rupiah dan kebijakan moneter Bank Indonesia.
- Secara global, inflasi AS yang melambat ke 2,3% pada April 2025 menunjukkan tekanan harga yang terkendali. Namun, ekspektasi tarif perdagangan yang lebih tinggi dapat meningkatkan inflasi di masa depan, memengaruhi imbal hasil obligasi dan daya tarik emas sebagai aset safe-haven.
- Di Indonesia, pelemahan rupiah ke Rp16.627/US$ dan volatilitas pasar akibat kenaikan yield US Treasury (10-tahun ke 4,49%) menambah risiko. Investor perlu memantau data ekonomi AS, seperti CPI dan penjualan ritel, serta dinamika geopolitik seperti de-eskalasi perang dagang AS-Tiongkok, yang dapat memengaruhi sentimen pasar.
- Reksa Dana: Volatilitas pasar saham global dan nasional memengaruhi reksa dana saham, sementara reksa dana pendapatan tetap sensitif terhadap perubahan suku bunga. Kenaikan yield SBN (FR0103 ke 6,84%) menunjukkan tekanan pada harga obligasi domestik.
- Emas: Harga emas yang naik di atas $3.250/ons didorong oleh aksi beli setelah penurunan sebelumnya. Harga emas diproyeksikan bergerak pada $3.000-$3.300 dalam jangka pendek, namun berpotensi naik ke $3.700. Emas tetap menarik sebagai lindung nilai terhadap ketidakpastian geopolitik dan inflasi.
- SBN: Investor asing melakukan net buy di SBN (Rp30,18 triliun pada 2025) menunjukkan kepercayaan. Namun, volatilitas yield akibat faktor eksternal seperti kebijakan Federal Reserve perlu diwaspadai. Penurunan CDS Indonesia ke 85 basis poin mencerminkan persepsi risiko yang lebih rendah.
Rekomendasi Investasi:
1. Reksa Dana
-
Investor dengan profil risiko agresif dapat mempertimbangkan alokasi sebesar 50%-60% di reksa dana saham dan indeks saham untuk jangka menengah dan panjang. Hal ini bertujuan untuk menangkap potensi pertumbuhan.
-
Untuk investor konservatif, alokasikan 70%-80% ke reksa dana pendapatan tetap dan pasar uang untuk meminimalisir risiko perubahan suku bunga.
-
Berinvestasilah secara rutin dengan strategi Dollar Cost Averaging.
2. Emas
- Alokasikan 5-10% portofolio ke emas untuk diversifikasi dan lindung nilai. Pertimbangkan pembelian bertahap untuk mengelola volatilitas harga.
3. SBN
- Volatilitas masih akan terjadi, pilihan yang tepat adalah SBN jangka pendek yang less volatile.
- SBN SR022 yang akan ditawarkan pada tanggal 16 Mei 2025 dengan jangka waktu investasi 3 dan 5 tahun menjadi pilihan yang tepat.
Yuk, investasi sekarang di tanamduit!
DISCLAIMER:
Tulisan ini dibuat dan diterbitkan oleh PT Star Mercato Capitale (tanamduit), anak perusahaan PT Mercato Digital Asia, yang telah berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan nomor KEP-13/PM.21/2017 serta menjadi mitra distribusi SBN dari DJPPR – Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan nomor S-363/pr/2018 dan dari SBSN dengan nomor PENG-2/PR.4/2018.
PT Mercato Digital Asia telah terdaftar pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) dengan nomor: 005445.01/DJAI.PSE/07/2022 dan bekerja sama dengan PT Cipta Optima Digital (emasin) untuk produk Koleksi Emas dan PT BPRS ATTAQWA (BPRS Attaqwa) dalam menyediakan produk Tabungan Emas 24 Karat produksi emas PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
Tulisan ini bersumber dari berbagai informasi tertulis dan visual yang terpercaya dan tersebar luas baik yang disediakan secara digital maupun hardcopy. Meskipun demikian, PT Star Mercato Capitale tidak dapat menjamin keakurasian dan kelengkapan data dan informasinya. Manajemen PT Star Mercato Capitale beserta karyawan dan afiliasinya menyangkal setiap dan semua tanggung jawab atas keakurasian, kelalaian, atau kerugian apapun dari penggunaan tulisan ini.