tanamduit menawarkan investasi yang aman dengan potensi return atau imbal hasil lebih tinggi dari bunga deposito. Sebelum berinvestasi, kenali kondisi market pada minggu 16-20 Juni 2025 dan strategi investasinya melalui penjelasan berikut.
Ringkasan Weekly Market Recap:
- Pasar saham Indonesia melemah di tengah tekanan global
- Pasar SUN Indonesia hadapi tekanan di tengah ketidakpastian global
- Harga emas dunia (XAU) fluktuatif di tengah ketegangan geopolitik & kebijakan The Fed
- Harga emas Indonesia melemah di tengah tekanan global
- Eskalasi Perang Iran-Israel Pasca-Serangan AS: Ancaman Minyak, Ekonomi Indonesia, dan Pasar Keuangan
Berikut adalah data-data indeks saham, nilai tukar mata uang, harga komoditas, dan yield obligasi per tanggal 20 Juni 2025 dan kinerjanya dalam sepekan (16-20 Juni 2025).
Pasar Saham Indonesia Melemah di Tengah Tekanan Global
Pada minggu 16-20 Juni 2025, pasar saham Indonesia mengalami penurunan signifikan.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang menjadi indikator utama Bursa Efek Indonesia, turun sebesar 3,61% dan ditutup pada level 6.907,14 pada hari Jumat.
Indeks LQ45, yang berisi saham-saham besar, juga melemah, terutama karena saham seperti ANTM, CTRA, dan AMMN banyak dijual. Penurunan ini membuat nilai total pasar saham menyusut menjadi sekitar Rp12.194 triliun pada hari Kamis.
Penyebab utama pelemahan ini adalah situasi global yang tidak menentu. Bank sentral Amerika Serikat (The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga tinggi di 4,5%, yang membuat investor khawatir tentang pertumbuhan ekonomi dunia.
Selain itu, ketegangan di Timur Tengah dan pelemahan bursa saham global, seperti di Amerika, ikut memengaruhi Indonesia.
Di dalam negeri, tidak ada berita positif yang kuat untuk menahan penurunan ini. Alhasil, pasar semakin tertekan.
Investor asing juga berkontribusi pada pelemahan pasar dengan melakukan aksi jual besar-besaran, yang disebut net sell. Sepanjang minggu, mereka menjual saham senilai sekitar Rp3,12 triliun, terutama saham bank besar.
Hal ini terjadi karena mereka ingin mengurangi risiko di pasar negara berkembang, seperti Indonesia.
Terlebih, nilai tukar rupiah juga melemah terhadap dolar AS. Akibatnya, saham-saham besar menjadi yang paling banyak diperdagangkan.
Meskipun pasar saham mengalami tekanan, beberapa saham tetap menarik perhatian investor. Meski demikian, hal ini tidak cukup untuk mengangkat IHSG.
Transaksi harian pada Kamis mencapai Rp13,95 triliun dengan volume perdagangan yang sangat tinggi. Penurunan ini menunjukkan bahwa investor, terutama yang dari luar negeri, sedang berhati-hati karena ketidakpastian global.
Secara keseluruhan, minggu lalu menjadi tantangan bagi pasar saham Indonesia.
Untuk investor awam, situasi ini bisa menjadi pengingat bahwa pasar saham dipengaruhi oleh banyak faktor, baik dari dalam maupun luar negeri. Jika ingin berinvestasi, penting untuk memahami kondisi pasar dan memilih saham dengan hati-hati, sambil menunggu sentimen yang lebih positif di masa depan.
Pasar SUN Indonesia Hadapi Tekanan di Tengah Ketidakpastian Global
Selama minggu 16-20 Juni 2025, pasar Surat Utang Negara (SUN) Indonesia tertekan karena sentimen (faktor) global.
Yield (imbal hasil) SUN dengan tenor 10 tahun bergerak di kisaran 6,8%-7,0%, sedikit lebih rendah dari 7,0% pada akhir 2024, menurut laporan Bank Indonesia (27 Desember 2024).
Sementara itu, yield SUN tenor 5 tahun berada di 6,5%-6,7%, mencerminkan minat investor pada obligasi tenor menengah.
Karena harga SUN berbanding terbalik dengan yield, harga SUN tenor 10 dan 5 tahun cenderung sedikit turun akibat yield yang stabil atau sedikit naik.
Tekanan ini dipicu oleh kebijakan The Fed yang mempertahankan suku bunga di 4,5%, membuat investor lebih waspada terhadap obligasi negara berkembang seperti Indonesia.
Penyebab pergerakan ini terutama adalah ketidakpastian global dan domestik. Keputusan The Fed untuk mempertahankan suku bunga tinggi dan proyeksi penurunan suku bunga yang hanya dua kali di 2025, memicu kekhawatiran tentang rendahnya pertumbuhan ekonomi global.
Selain itu, pelemahan rupiah terhadap dolar AS juga menambah tekanan. Karena rupiah melemah, investor asing menjadi khawatir dengan potensi kerugian nilai tukar, yaitu pada saat mereka menjual portfolio Rupiah dan menukarnya menjadi USD dengan harga yang lebih mahal.
Di dalam negeri, meskipun Bank Indonesia menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) sekunder menjadi 4% untuk meningkatkan likuiditas, tidak ada katalis positif yang kuat untuk mendorong kenaikan harga SUN. Ketegangan geopolitik di Timur Tengah turut memperburuk sentimen pasar.
Nilai transaksi SUN di pasar sekunder selama pekan tersebut lebih dari Rp100 triliun. Hal ini sesuai dengan tren transaksi obligasi yang dilaporkan oleh Bursa Efek Indonesia.
Volume transaksi pekan lalu didukung oleh likuiditas tambahan Rp78,45 triliun dari kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM)* dan jatuh tempo obligasi seri FR0081 senilai Rp142,2 triliun, yang mendorong aktivitas bond replacement oleh bank.
SUN tenor 5-10 tahun menjadi favorit karena likuiditas tinggi dan permintaan institusi. Namun, fluktuasi transaksi terjadi akibat sentimen global yang tidak stabil, terutama pada awal minggu ketika pasar saham juga anjlok.
*Catatan: Giro Wajib Minimum (GWM) adalah kewajiban bank untuk menyimpan sejumlah prosentase tertentu dari nilai Dana Pihak Ketiga (Giro, Tabungan, Deposito) di Bank Indonesia sebagai cadangan, yang memengaruhi likuiditas dan kredit di pasar keuangan.
Minat investor asing terhadap SUN menurun, dengan aksi net sell SUN mencapai sekitar Rp1-2 triliun selama minggu lalu. Investor asing mengurangi eksposur karena risiko nilai tukar rupiah dan ekspektasi yield global yang lebih tinggi.
Meski demikian, SUN Indonesia tetap menarik dibandingkan negara sejenis seperti Filipina. Sebab, yield SUN Indonesia dinilai lebih kompetitif.
Aksi jual SUN sejalan dengan net sell Rp3,12 triliun di pasar saham, menunjukkan strategi investor asing untuk mengamankan posisi di tengah volatilitas.
Komposisi kepemilikan investor asing di SUN terus menyusut. Per akhir November 2024, kepemilikan asing hanya 1,64% dari total SBN rupiah yang dapat diperdagangkan, turun dari 14,36% (Rp762,2 triliun) pada akhir 2022, menurut KSEI.
Tren ini kemungkinan berlanjut hingga Juni 2025 karena ketidakpastian global.
Investor domestik seperti bank memiliki sekitar Rp1.206,6 triliun dan reksa dana memiliki Rp194,85 triliun, mendominasi kepemilikan, mengurangi dampak volatilitas dari aksi jual asing.
Dengan demikian, pasar SUN tetap didukung likuiditas domestik. Namun, investor awam perlu memahami bahwa pergerakan harga dipengaruhi faktor global dan domestik.
Harga Emas Dunia (XAU) Fluktuatif di Tengah Ketegangan Geopolitik dan Kebijakan The Fed
Sepanjang minggu 16-20 Juni 2025, harga emas (XAU/USD) mengalami pergerakan fluktuatif, bergerak di kisaran $3,344-$3,450 per troy ounce.
Pada awal minggu, harga emas naik mendekati $3,450, didorong oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah, khususnya konflik Israel-Iran, yang meningkatkan permintaan emas sebagai aset safe haven.
Namun, menjelang akhir minggu, harga turun tipis ke $3,344,32 pada Jumat (20/6), melemah 0,75% dari hari sebelumnya, akibat penguatan dolar AS setelah sikap hawkish The Fed yang mempertahankan suku bunga di 4,5%. Pergerakan ini mencerminkan tarik-menarik antara faktor geopolitik & tekanan moneter.
Penyebab pergerakan harga emas sangat dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, eskalasi konflik di Timur Tengah, termasuk serangan Israel di Gaza dan respons Iran, mendorong investor mencari emas sebagai pelindung nilai di tengah ketidakpastian global.
Kedua, kebijakan The Fed yang hanya memproyeksikan dua kali penurunan suku bunga pada 2025. Kebijakan ini memperkuat dolar AS, yang memiliki korelasi terbalik dengan emas, sehingga menekan harga.
Selain itu, pernyataan Donald Trump tentang potensi keterlibatan militer AS dalam konflik global memicu kekhawatiran pasar, sementara pelemahan indeks dolar AS di pertengahan minggu memberi sedikit dukungan pada emas.
Nilai transaksi emas di pasar spot dan futures cukup signifikan, meskipun data spesifik untuk minggu ini terbatas.
Berdasarkan tren pasar, volume perdagangan harian XAU/USD diperkirakan mencapai lebih dari $50 miliar di pasar over-the-counter (OTC) global, dengan aktivitas tinggi di bursa seperti COMEX (New York Mercantile Exchange).
Volume meningkat di awal minggu karena lonjakan permintaan safe haven, tetapi menurun menjelang Jumat akibat ketidakpastian sikap The Fed. ETF emas global juga mencatat arus masuk bersih mingguan pertama sejak April 2025, menunjukkan minat institusional yang kuat.
Pembelian besar dilakukan oleh investor institusional, termasuk bank sentral dan pengelola aset (fund manager). Bank sentral dari negara-negara seperti Tiongkok, India, dan Turki terus menambah cadangan emas, sejalan dengan tren pembelian 1.136 ton pada 2022 senilai $70 miliar, menurut World Gold Council.
Selain itu, ETF emas seperti GLD dan IAU mencatat arus masuk besar dari investor institusional yang meningkatkan alokasi emas hingga 8% dalam portofolio defensif, didorong oleh risiko geopolitik.
Pedagang futures di COMEX juga aktif, dengan posisi long meningkat pada awal minggu, meskipun beberapa pedagang ritel beralih ke posisi sell setelah pengumuman FOMC.
Secara keseluruhan, harga emas pada minggu 16-20 Juni 2025 menunjukkan volatilitas yang dipicu oleh ketegangan geopolitik dan kebijakan moneter AS.
Investor awam perlu memahami bahwa emas adalah aset yang menarik di masa ketidakpastian. Namun, harganya sensitif terhadap dolar AS dan suku bunga.
Untuk informasi lebih rinci, pantau laporan dari World Gold Council atau bursa seperti COMEX.
Harga Emas Indonesia Melemah di Tengah Tekanan Global
Pada minggu 16-20 Juni 2025, harga emas di Indonesia, khususnya emas Antam, mengalami penurunan.
Harga mulai dari Rp1.968.000 per gram pada Senin, turun bertahap hingga Rp1.936.000 pada Jumat, sejalan dengan pelemahan harga emas global (XAU/USD) dari $3,450 ke $3,344 per troy ounce.
Penurunan ini dipicu oleh penguatan dolar AS setelah The Fed mempertahankan suku bunga di 4,5%.
Penguatan dolar melemahkan daya tarik emas, meskipun ketegangan geopolitik di Timur Tengah sempat mendorong harga di awal minggu.
Nilai transaksi emas di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp500 miliar sepanjang minggu, dengan volume harian 500-1.000 kg untuk emas batangan dan perhiasan.
Transaksi meningkat di awal minggu karena kenaikan harga, tetapi melambat menjelang Jumat akibat penurunan harga dan ketidakpastian pasar.
Secara global, volume perdagangan emas spot mencapai lebih dari $50 miliar per hari, menunjukkan likuiditas tinggi.
Pembeli terbesar adalah investor ritel melalui platform digital toko-toko emas menjelang hari raya Idul Adha. Institusi domestik, seperti bank dan perusahaan perhiasan, juga aktif, meskipun tidak ada data spesifik pembeli besar.
Investor awam disarankan memantau harga dan mempertimbangkan pembelian saat harga turun untuk investasi jangka panjang, dengan tetap waspada terhadap volatilitas akibat faktor global.
Rupiah Melemah di Tengah Tekanan Dolar AS
Selama minggu 16-20 Juni 2025, nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS mengalami pelemahan.
Rupiah dibuka pada Rp16.265 per USD pada Senin. Namun, rupiah turun ke Rp16.352 pada Kamis, dan sedikit pulih ke Rp16.355 pada Jumat.
Secara keseluruhan, Rupiah mencatat pelemahan mingguan sekitar 0,55% menurut Wise.Pelemahan ini dipicu oleh penguatan dolar AS setelah The Fed mempertahankan suku bunga di 4,5%. Terlebih, ketegangan geopolitik di Timur Tengah mendorong investor ke aset aman seperti dolar.
Nilai transaksi valas di pasar Indonesia diperkirakan mencapai $25-50 miliar sepanjang minggu, dengan aktivitas harian $5-10 miliar.
Penyebab utama pelemahan adalah kebijakan The Fed yang hawkish (kecenderungan suku bunga naik), aksi jual investor asing di saham dan SBN senilai Rp28,69 triliun, serta permintaan valas musiman menjelang Iduladha.
Investor asing dan pelaku perdagangan domestik, seperti eksportir dan importir, menjadi pelaku transaksi terbesar. Sementara itu, Bank Indonesia berupaya menstabilkan Rupiah melalui intervensi pasar.
Dibandingkan mata uang regional, Rupiah berkinerja lebih buruk dari Ringgit Malaysia (turun 0,3%) dan Baht Thailand (0,4%). Namun, kinerja rupiah sedikit lebih baik dari Peso Filipina (0,6%) dan Dong Vietnam (0,8%).
Tekanan global dari dolar AS dan kebijakan The Fed memengaruhi semua mata uang ASEAN, tetapi Rupiah lebih rentan akibat aliran keluar modal asing.
Investor awam disarankan memantau nilai tukar melalui platform seperti Wise untuk mengantisipasi volatilitas.
Eskalasi Perang Iran-Israel Pasca-Serangan AS:
Pada Sabtu, 21 Juni 2025, konflik Iran-Israel memasuki fase berbahaya ketika Amerika Serikat (AS) melancarkan serangan udara bertajuk “Operasi Midnight Hammer” terhadap tiga situs nuklir utama Iran: Fordow, Natanz, dan Isfahan.
Presiden AS Donald Trump mengklaim serangan ini berhasil melumpuhkan kemampuan nuklir Iran. Meski demikian, Iran membantah kerusakan signifikan dan mengancam balasan, termasuk potensi gangguan di Selat Hormuz, jalur vital 20% pasokan minyak dunia.
Akibatnya, harga minyak dunia melonjak tajam. Pada Senin, 23 Juni 2025, harga Brent mencapai $78,93 per barel (naik 2,49%), dan West Texas Intermediate (WTI) $75,73 per barel (naik 2,56%), dengan puncak sementara di $81,40 untuk Brent.
Analis dari Goldman Sachs memperingatkan harga bisa melonjak ke $110 per barel jika Selat Hormuz terganggu, atau bahkan $130 per barel dalam skenario terburuk, seperti penutupan total selat selama sebulan.
Potensi Dampak pada Harga BBM dan Ekonomi Indonesia:
Indonesia, sebagai importir minyak bersih, langsung merasakan tekanan. Harga BBM bersubsidi seperti Pertalite telah naik dari Rp7.650 menjadi Rp10.000 per liter sejak awal Juni 2025, mencerminkan kenaikan harga minyak sebelum eskalasi.
Pasca-serangan AS, PT Pertamina (Persero) diperkirakan akan mengevaluasi harga BBM non-subsidi seperti Pertamax (Rp12.500 per liter) dan Pertamax Turbo (Rp14.000 per liter) pada 1 Juli 2025.
Jika harga minyak dunia tembus $100 per barel, kenaikan harga BBM non-subsidi bisa mencapai 25–40% dari biaya logistik saat ini, misalnya menambah Rp30.000–50.000 per ton untuk pengiriman batu bara. Kenaikan ini berpotensi memicu inflasi, menaikkan harga barang kebutuhan pokok, dan mengurangi daya beli masyarakat.
Beban subsidi energi juga dapat membengkak, dengan ekonom dari CITA memperkirakan setiap kenaikan $1 harga minyak Indonesia (ICP) menambah belanja negara Rp10,1 triliun, jauh di atas penerimaan tambahan Rp3,2 triliun.
Pelemahan rupiah, yang sudah mencapai Rp16.310 per dolar AS sebelum eskalasi, memperparah biaya impor minyak, berisiko mendorong defisit fiskal dan transaksi berjalan. Namun, Indonesia bisa mendapat keuntungan dari kenaikan harga komoditas ekspor seperti batu bara dan minyak sawit, meskipun tidak cukup untuk mengimbangi tekanan impor.
Potensi Dampak pada Pasar Keuangan dan IHSG
Eskalasi ini memicu kekhawatiran di pasar keuangan global, dengan investor beralih ke aset aman seperti emas (naik 1,4% ke $3.432 per troy ons) dan Bitcoin ($105.000).
Pasar saham global, termasuk Indonesia, diperkirakan menghadapi tekanan jual signifikan. Ekonom Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Rully Arya Wisnubroto, memprediksi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan melemah pada 23–26 Juni 2025 akibat sentimen negatif global, terutama jika Iran membalas dengan menutup Selat Hormuz.
Sektor energi dan migas, seperti Medco Energi Internasional (MEDC) dan Surya Esa Perkasa (ESSA), kemungkinan akan naik karena kenaikan harga minyak, sementara sektor emas, seperti Aneka Tambang (ANTM) dan Merdeka Copper Gold (MDKA), mendapat dorongan dari harga emas yang melonjak.
Sebaliknya, sektor perbankan (BBCA, BBRI, BMRI) dan transportasi diperkirakan tertekan akibat risiko kredit, kenaikan biaya operasional, dan inflasi.
Penjualan saham oleh investor asing juga dapat memperburuk volatilitas IHSG, dengan potensi outflow miliaran rupiah seperti yang terjadi sebelumnya (Rp4,6 triliun pada 13–20 Juni 2025).
Pasar Asia, termasuk Indonesia, akan menjadi yang pertama merespons pada 23 Juni 2025, dengan IHSG berpotensi turun di bawah 6.900 jika sentimen memburuk.
Harga, Yield SUN, dan Strategi Mitigasi
Surat Utang Negara (SUN) menghadapi tekanan karena investor global beralih ke obligasi AS sebagai aset safe-haven. Imbal hasil (yield) SUN 10 tahun diperkirakan naik di atas 6,74% (level 20 Juni 2025) akibat meningkatnya risiko geopolitik dan inflasi, sehingga harga SUN cenderung turun.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, memperingatkan bahwa penguatan dolar AS jangka pendek akan menekan rupiah. Namun, defisit fiskal AS yang membengkak akibat biaya militer bisa melemahkan dolar dalam jangka panjang, memberikan ruang bagi SUN untuk pulih.
Pemerintah Indonesia perlu mengantisipasi dengan fleksibilitas anggaran, seperti menyiapkan subsidi tambahan untuk produsen dengan komponen impor tinggi, guna meredam inflasi.
Pakar dari UMY, Faris Al-Fadhat, menekankan urgensi transisi ke energi terbarukan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak, meskipun memerlukan waktu dan investasi besar. Diplomasi aktif untuk mendorong de-eskalasi konflik juga krusial, mengingat Indonesia rentan terhadap volatilitas harga komoditas impor.
Investor disarankan fokus pada saham sektor energi dan emas sambil memantau perkembangan geopolitik, dengan strategi diversifikasi untuk mengelola risiko di tengah ketidakpastian. (CNBC Indonesia, Kompas, Kumparan)
Agenda Global & Nasional Penggerak Pasar
Agenda global yang perlu dicermati minggu 23-27 Juni 2025 meliputi kebijakan moneter, ketegangan geopolitik, dan data ekonomi utama.
- The Fed kemungkinan merilis pernyataan lanjutan pasca-mempertahankan suku bunga di 4,5%, yang dapat memperkuat dolar AS dan menekan harga komoditas seperti emas (XAU/USD) dan minyak mentah (Brent $64/bbl, WTI $60/bbl, menurut World Bank).
- Ketegangan di Timur Tengah, khususnya konflik Israel-Iran, dapat mengganggu pasokan minyak, mendorong volatilitas harga energi.
- Data ekonomi AS, seperti CPI dan klaim pengangguran (biasanya dirilis mingguan), akan memengaruhi ekspektasi suku bunga, sementara laporan PMI manufaktur global (Eropa, China) dapat mengindikasikan permintaan komoditas logam.
- Kebijakan perdagangan AS, termasuk potensi tarif baru di bawah pemerintahan Trump, berisiko menekan harga komoditas pertanian seperti kedelai dan jagung, menurut J.P. Morgan.
Agenda nasional di Indonesia yang relevan mencakup kebijakan moneter dan dinamika domestik.
- Bank Indonesia (BI) mungkin mengumumkan langkah lanjutan setelah menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) sekunder menjadi 4%, yang meningkatkan likuiditas Rp78,45 triliun dan dapat memengaruhi nilai tukar Rupiah (sekitar Rp16.355 per USD pada 20/6).
- Permintaan musiman pasca-Iduladha dapat meningkatkan transaksi valas, terutama untuk impor, menekan Rupiah lebih lanjut.
- Laporan ekspor-impor Indonesia, khususnya komoditas seperti sawit dan batubara, akan memengaruhi neraca perdagangan dan sentimen pasar saham (IHSG). Pelemahan ekspor akibat perlambatan global, seperti di China, dapat menekan harga komoditas domestik, sesuai proyeksi World Bank tentang penurunan harga batubara sebesar 27% pada 2025.
Dampak dan Hal yang Perlu Diperhatikan.
Agenda ini menciptakan volatilitas tinggi di pasar keuangan dan komoditas. Investor perlu memantau pengumuman The Fed dan data ekonomi AS untuk mengantisipasi pergerakan dolar AS, yang memengaruhi Rupiah, emas, dan saham (IHSG turun 3,61% pada 16-20 Juni). Geopolitik Timur Tengah dapat memicu lonjakan harga minyak, mengganggu inflasi domestik. Secara lokal, kebijakan BI dan laporan perdagangan akan menentukan stabilitas Rupiah dan daya tarik SBN (yield SUN 10 tahun ~6,8%-7,0%).
Rekomendasi Investasi untuk Reksa Dana, Emas, dan SBN di Tengah Eskalasi Konflik Iran-Israel
Eskalasi konflik Iran-Israel pasca-serangan AS pada 21 Juni 2025 terhadap tiga situs nuklir Iran telah memicu lonjakan harga minyak dunia, dengan Brent mencapai $78,93 per barel dan potensi menyentuh $110 jika Selat Hormuz terganggu. Ketidakpastian geopolitik ini meningkatkan volatilitas pasar keuangan, melemahkan rupiah ke Rp16.310 per dolar AS, dan mendorong inflasi di Indonesia, terutama melalui kenaikan harga BBM seperti Pertalite (Rp10.000 per liter). Investor reksa dana, emas, dan Surat Berharga Negara (SBN) perlu strategi cermat untuk mengelola risiko dan memanfaatkan peluang. Berikut rekomendasi investasi berdasarkan profil risiko (konservatif, moderat, agresif) dengan mempertimbangkan berita global dan nasional terkini per 23 Juni 2025, pukul 09:14 WIB.
Diversifikasi untuk Stabilitas dan Peluang Pertumbuhan.
- Investor konservatif dapat mempertimbangkan 50%-60% ke Reksa Dana Pasar Uang, 20%-30% ke Reksa Dana Pendapatan Tetap, SBN 10%-20% SBN dan sisanya ke Emas.
- Investor Moderat mengalokasikan 20%-30% pada Reksa Dana Pasar Uang, 40%-50% pada Reksa Dana Pendapatan Tetap, 20%-30% Reksa Dana Campuran, 10%-20% Reksa Dana Saham dan/atau Indeks Saham, 10%-20% SBN dan sisanya ke Emas.
- Investor Agresif dapat mempertimbangkan investasi di Reksa Dana Saham dan/atau Reksa Dana Indeks Saham dengan eksposur sektor energi dan emas, untuk memanfaatkan potensi kenaikan saham MEDC dan ANTM.
Sanggahan: Tabel di atas hanya merupakan sebuah ide, bukan suatu keharusan.
Emas: Aset Safe-Haven untuk Lindung Nilai
Harga emas dunia melonjak ke $3.432 per troy ons, didorong statusnya sebagai safe-haven, dengan prediksi mencapai $3.500–3.700 akhir 2025. Di Indonesia, harga emas Antam diperkirakan Rp2–2,1 juta per gram.
SBN: Stabilitas dengan Imbal Hasil Kompetitif
Yield SBN diperkirakan akan naik akibat risiko geopolitik, menekan harga SBN di pasar sekunder, tetapi SBN ritel tetap menarik untuk ritel. Ditjen PPR Kementerian Keuangan dijadwalkan akan menerbitkan SBN seri Saving Bond Retail (SBR) seri SBR014 dengan tenor 2 dan 4 tahun, dan akan ditawarkan secara publik pada tanggal 14 Juli – 7 Agustus 2025. Investor yang berminat dan sudah memiliki dananya sambil menunggu masa penawaran dapat untuk sementara waktu menempatkan dananya di Reksa Dana Pasar Uang.
Yuk, investasi di tanamduit sekarang!
DISCLAIMER:
Tulisan ini dibuat dan diterbitkan oleh PT Star Mercato Capitale (tanamduit), anak perusahaan PT Mercato Digital Asia, yang telah berizin dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Agen Penjual Efek Reksa Dana dengan nomor KEP-13/PM.21/2017 serta menjadi mitra distribusi SBN dari DJPPR – Kementerian Keuangan Republik Indonesia dengan nomor S-363/pr/2018 dan dari SBSN dengan nomor PENG-2/PR.4/2018.
PT Mercato Digital Asia telah terdaftar pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMINFO) dengan nomor: 005445.01/DJAI.PSE/07/2022 dan bekerja sama dengan PT Cipta Optima Digital (emasin) untuk produk Koleksi Emas dan PT BPRS ATTAQWA (BPRS Attaqwa) dalam menyediakan produk Tabungan Emas 24 Karat produksi emas PT Aneka Tambang Tbk (Antam).
Tulisan ini bersumber dari berbagai informasi tertulis dan visual yang terpercaya dan tersebar luas baik yang disediakan secara digital maupun hardcopy. Meskipun demikian, PT Star Mercato Capitale tidak dapat menjamin keakurasian dan kelengkapan data dan informasinya. Manajemen PT Star Mercato Capitale beserta karyawan dan afiliasinya menyangkal setiap dan semua tanggung jawab atas keakurasian, kelalaian, atau kerugian apapun dari penggunaan tulisan ini.
Top 5 Kinerja Reksa Dana 1 Tahun Semua Jenis
Top 5 Kinerja Reksa Dana 1 Bulan Semua Jenis